Pemerintahan di seluruh dunia saat ini sedang tertular demam open source, sebuah software yang mengijinkan mereka untuk melihat dan memodifikasi source codenya, tidak seperti proprietary software seperti yang dibuat oleh Microsoft. Namun pertanyaanya apakah trend global ini akan terus berlanjut? Jawabannya tergantung pada beberapa faktor yang merintangi penyebaran gerakan open source ini.
Salah satu rintangannya adalah awal pengembangan teknologinya yang lebih banyak berorientasi pada server dari pada aplikasi desktop, selain itu adanya oposisi yang dilakukan oleh Microsoft (perusahaan software yang paling dominan di dunia) yang menempatkannya sebagai perusahaan yang paling terpukul jika pemerintahan beramai-ramai beralih ke produk open source.
Saat ini produk open source yang paling terkenal adalah Linux yang mana pada acara LinuxWord baru-baru ini di California terus-menerus mempromiskan Linux dan terus melakukan pengembangsan produk. Dan makin banyak pembuat software yang mempatenkan idenya sebagai software open source dan membuat persaingan makin seru.
Beberapa tahun belakangan, “U.N. World Summit on the Information Society” (WSIS) menjadi event yang paling diperhatikan oleh negara-negara berkembang. Dari deklarasi WSIS terlihat tawaran-tawaran solusi software open source untuk negara-negara berkembang. Dan isunya sudah mencapai ke agenda pemerintahan multilateral yang mana sebagian besar memiliki persepsi yang sama bahwa software open source lebih murah dan lebih mudah daripada produk proprietary.
Hal tersebut juga diperhatikan oleh “Organization for Economic Cooperation and Development”, yang menganjurkan penggunaan teknologi open source dalam petunjuk cyber-security-nya. Selain itu “World Intellectual Property Organization” berencana mengadakan pertemuan untuk membicarakan hal yang sama tahun depan. Sedangkan pada pertemuan “Asia Pacific Economic Cooperation” (APEC) di Thailand, Amerika mendorong pemerintahan agar tidak ikut campur dan menyerahkan pilihan pada pasar apakah mau menggunakan software open source atau proprietry.
Meskipun muncul persaingan menghadapi software open source ini, industri teknologi Amerika mengakui secara signifikan adanya evolusi dibidang industri ini. Pemain-pemain besar seperti IBM, Intel dan Oracle, telah mengakomodasi open source dalam produk dan service-nya. Asosiasi industri amerika (“U.S. industry trade associations”) makin serius membahas tentang propriety dan open source ini.
Posisi pemerintah Amerika terhadap open source juga mencerminkan adanya perpecahan dalam industri dan sudah menjadi pandangan Amerika bahwa dalam pertarungan internasional, hukum seharusnya tidak menentukan teknologi mana yang seharusnya digunakan, apakah itu open source atau propriety. Menurut mereka pemerintahan seharusnya netral dalam investasi. Mereka juga menambahkan bahwa US tidak menghalangi gerakan open source namun memberikan keduanya (baik software open source maupun proprietary) kesempatan yang sama dan silakan anda pilih mana yang lebih baik, lebih cepat dan lebih cost effective. Dan sepertinya banyak industri dan pemerintahan yang setuju akan hal tersebut.
Pemerintahan diseluruh penjuru dunia saat ini sedang beramai-ramai mengadopsi produk open source, namun usaha untuk membuat peraturan yang mengunggulkan penerapan open source banyak yang digagalkan.
Uni Eropa dan banyak negara di Eropa termasuk Austria, Belgia, Bulgaria, Denmark, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Itali, Belanda, Portugal, Spanyol, Swedia, Switzerland, Ukraina dan Ingris telah memperlihatkan dukungannya kepada open source, sebagai contoh pemerintahan Spanyol yang secara resmi mengadopsi software open source dan memutuskan serta meminta agar departemen-departemen pemerintahan tertentu untuk menggunakan free software, keputusanya diimplemantisakan di musim semi 2003.
Sedangkan “Department of Communications, Information Technology and the Arts” Australia baru-baru ini menyatakan bahwa pemerintah tidak membutuhkan hukum dan guideline dalam pemakaian software karena sudah menjadi kewajibannya untuk mempertimbangkan segala opsi dan memilih mana yang pantas. Dan mereka mengatakan usulan “Australian Unix Users Group” (AUUG) mengenai “open source procurement guidelines” (yang kalo diterapkan implikasinya manaruh hati pada open source) dianggapnya tidak perlu. Sedangkan Darren Sommers, dari “Herbert Geer and Rundle Lawyers”, menyatakan proposal AUUG hanyalah guidelines dan tetap membutuhkan dukungan legislasi untuk membuatnya memiliki kekuatan.
Di Asia, pemerintah korea bersama-sama dengan jepang dan china juga sedang mempertimbangkan pemakaian open source dalam penelitian dan usaha pengembangan, bahkan china sendiri telah mengadopsi open source. Menurut “Gartner Australia”, yang paling tertarik dalam penggunaan Linux di kawasan Asia Pacific adalah Australia, Jepang, China dan Korea. Dan momentum ini datang dari pihak pemerintah bukan dari enterprise. Berbeda dengan Singapore yang tidak mempertimbangakn penggunaan Linux secara meluas di pemerintahan seperti yang dinyatakan oleh “Infocomm-Development Authority (IDA) of Singapore” (pembuat peraturan dibagian indistri teknologi). Dan menurut “Gartner Australia” Singapore memang lebih dekat ke Microsoft dan perusahaan tradisonal pengembang software komersial lainnya. Namun IDA sekarang telah memasukkan Linux sebagai opsi untuk tender dan kontrak pemerintah. Sedangkan di Malaysia, perdana menteri Mahathir Mohamad tertarik terhada software open source dan menganjurkan pelayan sipil untuk mengadopsinya.
Industri Amerika memperhatikan perkembangan internasional ini dan tidak segan berkomunikasi secara langsung bila sudah menyangkut peraturan, legislasi, dan kebijakan pemerintah. “Association for Competitive Technology”, yang mana Microsoft menjadi anggotanya, telah mempertanyakan “peraturan yang menentukan pemilihan teknologi” apakah melanggar hukum WTO. Dan “Initiative for Software Choice (ISC)”, koalisi yang dioperasikan oleh “Computer and Telecommunications Industry Association (CompTIA)” yang juga ada Microsoft dalam daftar anggotanya, terus mengamati perkembangan “open source legislative”.
Baru-baru ini, asosiasi perdagangan open source yang bernama “Open Source and Industry Alliance”, dibentuk di Washington sebagai serangan balik terhadap manuver-manuver Microsoft. Dan mereka menekankan bahwa isu sebenarnya adalah mengenai Linux. Apa yang Microsoft inginkan adalah mengalahkan Linux dan menciptakan keraguan akan penjualan dan pendistribusian Linux.
Namun sebenarnya kunci pengadopsian produk open source juga terletak pada sikap pemerintahan dalam membuat keputusan. Namun dunia industri kelihatannya selalu berebut opini bahwa menilai keunggulan software harus fair dan pemerintah seharusnya memilih produk yang paling sesuai dengan kebutuhannya tidak berdasarkan pada emosional.
Di Brasil, sejak Luiz Inacio Lula da Silva dari partai buruh menjabat presiden mulai januari 2003 lalu, dukungan pemerintah terhadap open source makin kuat. Dan baru-baru ini disana diadakan “Legislative Free Software Week” yang berlangsung dari 18-22 Agustus 2003 yang diadakan oleh “Federal Senate”. Dalam event tersebut terlihat bahwa pemerintahan Brasil tidak hanya berlarut-larut dalam diskusi mengenai penggunaan free software namun mengambil langkah-langkah nyata dalam penerapannya untuk pemerintahan. Bahkan anggota kongres dari partai buruh, Walter Pinheiro, menyatakan bahwa “kongres akan menunjukkan bahwa pembeli software terbesar, yaitu pemerintah, menggunakan free software dan ini mungkin akan menjadi contoh yang baik bagi yang lain”. Dan Pinheiro juga mengatakan bahwa “House of Representatives” tidak akan memperbaharui Microsof office nya yang senilah US $1.3 juta dan sedang mempelajari alternatif free software“nya, dan selanjutnya akan mengganti sistem email-nya dengan produk free sosftware.
Sedangkan di Amerika tidak ada hukum mengenai open source yang dapat dijadikan model oleh industri, namun pihak CompTIA lebih menyukai hukum di New Zealand, yang pada initinya menjelaskan bahwa dalam membeli software harus berdasarkan cost, fungsi, security, dan kemampuannya dalam bekerja dengan sistem lain.
Dibulan april 2003, “Center of Open Source and Government” yang berada di “George Washington University”, menyatakan bahwa kecurigaan yang dibangun industri software proprietary hanya berusaha agar pemerintahan tidak membuat hukum yang mempertimbangkan open source. Dan pihak “Center of Open Source and Government” setuju dengan pernyataan eksplisit pemerintah Afrika Selatan yang melegitimasi open source dan memerintahkan lembaga-lembaga pemerintah untuk memimpin program open source. Selain itu mereka juga menyetujui pernyataan Afrika Selatan bahwa beberapa ketetapan yang menguatkan open source dibutuhkan sampai open source memiliki kekuatan kompetitif yang sama dengan software proprietry, dan mendukung pengakuan Afrika Selatan bahwa produk opensource memiliki keuntungan sosial dan sekaranglah waktu untuk mengadopsinya.
Refference:
* ‘Open source’ software trend faces barriers
* Alston dismisses call for open source procurement guidelines
* Brazilian parliament to adopt free software
* Asian Linux: Some keen, others cool